Jumat, 06 April 2012

Makhluk Halus


aku mengibaratkanmu seperi setan
setan saja
sesekali walau tak sering
muncul juga engkau di layar segiempatku
muncul juga engkau di kesembunyian itu

ini lelakiku
dan aku melihatmu dalam ketiadaanmu


~Sidoarjo, 7 April 2012~

Minggu, 19 Februari 2012

Membaca Luka


:seorang teman

Bapak telah membaca seribu malam
di atas ranjang yang sudah lama kering
sejak linangan kepedihan itu pergi

Ia tak benar-benar pergi
ia hanya keluar dan duduk di kursi kayu dekat pintu
sesaat masuk, lalu keluar, bersila
menunggu-nunggu
kapan ia haus dan meminta air mata itu

Tangan yang satu, yang sesekali bersarang di rambutmu
mungkin tak pernah tengadah, hanya sorot mata
menuliskan kesakitan pada langit yang tak pernah dipandangnya

Kemana langit?

“Aku membacamu dari suapan nasi, keringat buah hati, dan malam yang selalu ditingkah doa-doa”

Menjaring Cahaya


surga kita menyebutnya
padahal bentuknya tak tampak pada mata

neraka pulakah itu
jika tawa masih mencuri senyummu

pada arus, tanyakanlah
seberapa banyak ia gulirkan riak tantangan
hingga membeku pada betis dan bahu

pada Kapuas, tanyakanlah,
berapa banyak desa yang disepikan gelap
terlalui sepanjang hulu hingga terus menjauh

padanya tersimpan cerita
tentang kilauan senja, ditingkah bocah-bocah
yang katanya terjaring banyak
sebagai penerang setapak mimpi
nanti

Di Suatu Senja


Kudapati matahari merangkak turun begitu cepat
merendah
dan menggelap dengan sigap

Lalu, apa yang kan terjadi pada senja kita yang ceria
saat kulihat engkau pergi begitu cepat
tinggalkan segala mega, setapak
juga sisa purnama

Benarkah itu bebatuan sungguh bisu
lalu enggan katakan itu kelu

(Juni 2010)

Sedingin Embun


Seperti aku berjalan sendiri di setapak itu
selepas subuh
angin pagi terbangkan rerantingan
dedaun menitik embun
lalu diterbangkannya ke dasar hati

Masih terlalu dingin bagiku
meski bebungaan putih menggoda pada mata

Kerikil, tanjakan, cadas bebatuan pun riuh
diejeknya aku

Seperti aku berjalan sendiri di setapak itu
Dingin.

(Juni 2010)